Thanks For Visit My Blog
LEGENDA RATU
PANTAI SELATAN
Ratu Pantai
Selatan Alias Ratu Kidul alias Nyai Roro Kidul merupakan salah satu legenda
yang paling populer di tanah Jawa. Bagaimana kisahnya? Bagaimana pula hubungan
Ratu Pantai Selatan dengan Kraton Yogyakarta dan Gunung Merapi?
Di
suatu masa, hiduplah putri cantik bernama Kadita. Karena kecantikannya, ia pun
dipanggil Dewi Srengenge yang berarti matahari yang indah. Dewi Srengenge
adalah anak dari Raja Munding Wangi. Meskipun sang raja mempunyai seorang putri
yang cantik, ia selalu bersedih karena sebenarnya ia selalu berharap mempunyai
anak laki-laki. Raja pun kemudian menikah dengan Dewi Mutiara, dan mendapatkan
putra dari perkimpoian tersebut. Maka, bahagialah sang raja.
Dewi
Mutiara ingin agar kelak putranya itu menjadi raja, dan ia pun berusaha agar
keinginannya itu terwujud. Kemudian Dewi Mutiara datang menghadap raja, dan
meminta agar sang raja menyuruh putrinya pergi dari istana. Sudah tentu raja
menolak. “Sangat menggelikan. Saya tidak akan membiarkan siapapun yang ingin
bertindak kasar pada putriku”, kata Raja Munding Wangi.
Mendengar
jawaban itu, Dewi Mutiara pun tersenyum dan berkata manis sampai raja tidak
marah lagi kepadanya. Tapi walaupun demikian, dia tetap berniat mewujudkan
keinginannya itu.
Pada
pagi harinya, sebelum matahari terbit, Dewi Mutiara mengutus pembantunya untuk
memanggil seorang dukun. Dia ingin sang dukun mengutuk Kadita, anak tirinya.
“Aku ingin tubuhnya yang cantik penuh dengan kudis dan gatal-gatal. Bila engkau
berhasil, maka aku akan memberikan suatu imbalan yang tak pernah kau bayangkan
sebelumnya.” Sang dukun menuruti perintah sang ratu. Pada malam harinya, tubuh
Kadita telah dipenuhi dengan kudis dan gatal-gatal. Ketika dia terbangun, dia
menyadari tubuhnya berbau busuk dan dipenuhi dengan bisul. Puteri yang cantik
itu pun menangis dan tak tahu harus berbuat apa.
Ketika
Raja mendengar kabar itu, beliau menjadi sangat sedih dan mengundang banyak
tabib untuk menyembuhkan penyakit putrinya. Beliau sadar bahwa penyakit
putrinya itu tidak wajar, seseorang pasti telah mengutuk atau
mengguna-gunainya. Masalah pun menjadi semakin rumit ketika Ratu Dewi Mutiara
memaksanya untuk mengusir puterinya. “Puterimu akan mendatangkan kesialan bagi
seluruh negeri,” kata Dewi Mutiara. Karena Raja tidak menginginkan puterinya
menjadi gunjingan di seluruh negeri, akhirnya beliau terpaksa menyetujui usul
Ratu Mutiara untuk mengirim putrinya ke luar dari negeri itu.
Puteri
yang malang itu pun pergi sendirian, tanpa tahu ke mana harus pergi. Dia hampir
tidak dapat menangis lagi. Dia memang memiliki hati yang mulia. Dia tidak
menyimpan dendam kepada ibu tirinya, malahan ia selalu meminta agar Tuhan
mendampinginya dalam menanggung penderitaan..
Hampir
tujuh hari dan tujuh malam dia berjalan sampai akhirnya tiba di Samudera
Selatan. Dia memandang samudera itu. Airnya bersih dan jernih, tidak seperti
samudera lainnya yang airnya biru atau hijau. Dia melompat ke dalam air dan
berenang. Tiba-tiba, ketika air Samudera Selatan itu menyentuh kulitnya,
mukjizat terjadi. Bisulnya lenyap dan tak ada tanda-tanda bahwa dia pernah
kudisan atau gatal-gatal. Malahan, dia menjadi lebih cantik daripada
sebelumnya. Bukan hanya itu, kini dia memiliki kuasa untuk memerintah seisi
Samudera Selatan. Kini ia menjadi seorang peri yang disebut Nyi Roro Kidul atau
Ratu Pantai Samudera Selatan yang hidup selamanya.
Kanjeng Ratu
Kidul = Ratna Suwinda
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Tersebut dalam Babad Tanah Jawi (abad ke-19), seorang pangeran dari Kerajaan Pajajaran, Joko Suruh, bertemu dengan seorang pertapa yang memerintahkan agar dia menemukan Kerajaan Majapahit di Jawa Timur. Karena sang pertapa adalah seorang wanita muda yang cantik, Joko Suruh pun jatuh cinta kepadanya. Tapi sang pertapa yang ternyata merupakan bibi dari Joko Suruh, bernama Ratna Suwida, menolak cintanya. Ketika muda, Ratna Suwida mengasingkan diri untuk bertapa di sebuah bukit. Kemudian ia pergi ke pantai selatan Jawa dan menjadi penguasa spiritual di sana. Ia berkata kepada pangeran, jika keturunan pangeran menjadi penguasa di kerajaan yang terletak di dekat Gunung Merapi, ia akan menikahi seluruh penguasa secara bergantian.
Generasi
selanjutnya, Panembahan Senopati, pendiri Kerajaan Mataram Ke-2, mengasingkan
diri ke Pantai Selatan, untuk mengumpulkan seluruh energinya, dalam upaya
mempersiapkan kampanye militer melawan kerajaan utara. Meditasinya menarik
perhatian Kanjeng Ratu Kidul dan dia berjanji untuk membantunya. Selama tiga
hari dan tiga malam dia mempelajari rahasia perang dan pemerintahan, dan
intrik-intrik cinta di istana bawah airnya, hingga akhirnya muncul dari Laut
Parangkusumo, kini Yogyakarta Selatan. Sejak saat itu, Ratu Kidul dilaporkan
berhubungan erat dengan keturunan Senopati yang berkuasa, dan sesajian
dipersembahkan untuknya di tempat ini setiap tahun melalui perwakilan istana
Solo dan Yogyakarta.
Begitulah dua buah
kisah atau legenda mengenai Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu
Pantai Selatan. Versi pertama diambil dari buku Cerita Rakyat dari Yogyakarta
dan versi yang kedua terdapat dalam Babad Tanah Jawi. Kedua cerita tersebut
memang berbeda, tapi anda jangan bingung. Anda tidak perlu pusing memilih, mana
dari keduanya yang paling benar. Cerita-cerita di atas hanyalah sebuah pengatar
bagi tulisan selanjutnya.
Kanjeng Ratu
Kidul dan Keraton Yogyakarta
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?
Percayakah anda dengan cerita tentang Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul, atau Ratu Pantai Selatan? Sebagian dari anda mungkin akan berkata TIDAK. Tapi coba tanyakan kepada mereka yang hidup dalam zaman atau lingkungan Keraton Yogyakarta. Mereka yakin dengan kebenaran cerita ini. Kebenaran akan cerita Kanjeng Ratu Kidul memang masih tetap menjadi polemik. Tapi terlepas dari polemik tersebut, ada sebuah fenomena yang nyata, bahwa mitos Ratu Kidul memang memiliki relevansi dengan eksistensi Keraton Yogyakarta. Hubungan antara Kanjeng Ratu Kidul dengan Keraton Yogyakarta paling tidak tercantum dalam Babad Tanah Jawi (cerita tentang kanjeng Ratu Kidul di atas, versi kedua). Hubungan seperti apa yang terjalin di antara keduanya?
Y. Argo Twikromo
dalam bukunya berjudul Ratu Kidul menyebutkan bahwa masyarakat adalah sebuah
komunitas tradisi yang mementingkan keharmonisan, keselarasan dan keseimbangan
hidup. Karena hidup ini tidak terlepas dari lingkungan alam sekitar, maka
memfungsikan dan memaknai lingkungan alam sangat penting dilakukan.
Sebagai sebuah
hubungan komunikasi timbal balik dengan lingkungan yang menurut masyarakat Jawa
mempunyai kekuatan yang lebih kuat, masih menurut Twikromo, maka penggunaan
simbol pun sering diaktualisasikan. Jika dihubungkan dengan makhluk halus, maka
Javanisme mengenal penguasa makhluk halus seperti penguasa Gunung Merapi,
penguasa Gunung Lawu, Kayangan nDelpin, dan Laut Selatan. Penguasa Laut Selatan
inilah yang oleh orang Jawa disebut Kanjeng Ratu Kidul. Keempat penguasa
tersebut mengitari Kesultanan Yogyakarta. Dan untuk mencapai keharmonisan,
keselarasan dan keseimbangan dalam masyarakat, maka raja harus mengadakan
komunikasi dengan “makhluk-makhluk halus” tersebut.
Menurut Twikromo,
bagi raja Jawa berkomunikasi dengan Ratu Kidul adalah sebagai salah satu
kekuatan batin dalam mengelola negara. Sebagai kekuatan datan kasat mata (tak
terlihat oleh mata), Kanjeng Ratu Kidul harus dimintai restu dalam kegiatan
sehari-hari untuk mendapatkan keselamatan dan ketenteraman.
Kepercayaan
terhadap Ratu Kidul ini diaktualisasikan dengan baik. Pada kegiatan labuhan
misalnya, sebuah upacara tradisional keraton yang dilaksanakan di tepi laut di
selatan Yogyakarta, yang diadakan tiap ulang tahun Sri Sultan Hamengkubuwono,
menurut perhitungan tahun Saka (tahun Jawa). Upacara ini bertujuan untuk
kesejahteraan sultan dan masyarakat Yogyakarta.
Kepercayaan
terhadap Kanjeng Ratu Kidul juga diwujudkan lewat tari Bedaya Lambangsari dan
Bedaya Semang yang diselenggarakan untuk menghormati serta memperingati Sang Ratu.
Bukti lainnya adalah dengan didirikannya sebuah bangunan di Komplek Taman Sari
(Istana di Bawah Air), sekitar 1 km sebelah barat Keraton Ngayogyakarta
Hadiningrat, yang dinamakan Sumur Gumuling. Tempat ini diyakini sebagai tempat
pertemuan sultan dengan Ratu Pantai Selatan, Kanjeng Ratu Kidul.
Penghayatan mitos
Kanjeng Ratu Kidul tersebut tidak hanya diyakini dan dilaksanakan oleh pihak
keraton saja, tapi juga oleh masyarakat pada umumnya di wilayah kesultanan.
Salah satu buktinya adalah adanya kepercayaan bahwa jika orang hilang di Pantai
Parangtritis, maka orang tersebut hilang karena “diambil” oleh sang Ratu.
Selain Keraton
Ngayogyakarta Hadiningrat, mitos Kanjeng Ratu Kidul juga diyakini oleh saudara
mereka, Keraton Surakarta Hadiningrat. Dalam Babad Tanah Jawi memang disebutkan
bahwa Kanjeng Ratu Kidul pernah berjanji kepada Panembahan Senopati, penguasa
pertama Kerajaan Mataram, untuk menjaga Kerajaan Mataram, para sultan, keluarga
kerajaan, dan masyarakat dari malapetaka. Dan karena kedua keraton (Yogyakarta
dan Surakarta) memiliki leluhur yang sama (Kerajaan Mataram), maka seperti
halnya Keraton Yogyakarta, Keraton Surakarta juga melaksanakan berbagai bentuk
penghayatan mereka kepada Kanjeng Ratu Kidul. Salah satunya adalah pementasan
tari yang paling sakral di keraton, Bedoyo Ketawang, yang diselenggarakan
setahun sekali pada saat peringatan hari penobatan para raja. Sembilan orang
penari yang mengenakan pakaian tradisional pengantin Jawa mengundang Ratu Kidul
untuk datang dan menikahi susuhunan, dan kabarnya sang Ratu kemudian secara
gaib muncul dalam wujud penari kesepuluh yang nampak berkilauan.
Kepercayaan
terhadap Ratu Kidul ternyata juga meluas sampai ke daerah Jawa Barat. Anda
pasti pernah mendengar, bahwa ada sebuah kamar khusus (nomor 308) di lantai
atas Samudera Beach Hotel, Pelabuhan Ratu, yang disajikan khusus untuk Ratu
Kidul. Siapapun yang ingin bertemu dengan sang Ratu, bisa masuk ke ruangan ini,
tapi harus melalui seorang perantara yang menyajikan persembahan buat sang
Ratu. Pengkhususan kamar ini adalah salah satu simbol ‘gaib’ yang dipakai oleh
mantan presiden Soekarno.
Sampai sekarang, di
masa yang sangat modern ini, legenda Kanjeng Ratu Kidul, atau Nyi Roro Kidul,
atau Ratu Pantai Selatan, adalah legenda yang paling spektakuler. Bahkan ketika
anda membaca kisah ini, banyak orang dari Indonesia atau negara lain mengakui
bahwa mereka telah bertemu ratu peri yang cantik mengenakan pakaian tradisional
Jawa. Salah satu orang yang dikabarkan juga pernah menyaksikan secara langsung
wujud sang Ratu adalah sang maestro pelukis Indonesia, (almarhum) Affandi.
Pengalamannya itu kemudian ia tuangkan dalam sebuah lukisan.
JOKO
TARUB
Dahulu
kala, di Desa Tarub, tinggallah seorang janda bernama Mbok Randa Tarub. Sejak
suaminya meninggal dunia, ia mengangkat seorang bocah laki-laki sebagai
anaknya. Setelah dewasa, anak itu dipanggilnya Jaka Tarub.
Jaka
Tarub anak yang baik. Tangannya ringan melakukan pekerjaan. Setiap hari, ia
membantu Mbok Randha mengerjakan sawah ladangnya. Dari hasil sawah ladang
itulah mereka hidup. Mbok Randha amat mengasihi Jaka Tarub seperti anaknya
sendiri.
Waktu terus berlalu. Jaka Tarub beranjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang mendambakan untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia bekerja semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Randha yang pemurah akan membaginya dengan tetangganya yang kekurangan. “Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.
“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.
“Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Sim¬bok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.
“Hari sudah siang, tetapi Simbok belum bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.
“Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah.
“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simboknya. Namun rupanya umur Mbok Randha hanya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.
Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi berselera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil membawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur.
Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gumamnya. Pandangannya ditujukan ke telaga. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat kecantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.
“Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali ke kahyangan,” kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kembali mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan selendangnya.
“Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.
Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak ditemukan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu lama-lama. Mungkin sudah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke kahyangan,” tambahnya.
Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka.
Pada suatu hari, Nawang wulan berpesan kepada Jaka Tarub, “Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wulan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan. “Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. Saat Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang menyembunyikan selendang itu. Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
“Kakang, aku harus kembali ke kahyangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam letakkan Nawangsih di sana. Aku akan datang menyusuinya. Namun Kakang janganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang ke menuju kahyangan.
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya bermain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali ke kahyangan. Demikian hal itu terjadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan Nawangsih merasa Nawang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat keduanya mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Konon itu adalah bantuan dari Nawang Wulan.
Waktu terus berlalu. Jaka Tarub beranjak dewasa. Wajahnya tampan, tingkah lakunya pun sopan. Banyak gadis yang mendambakan untuk menjadi istrinya. Namun Jaka Tarub belum ingin beristri. Ia ingin berbakti kepada Mbok Randha yang dianggapnya sebagai ibunya sendiri. Ia bekerja semakin tekun, sehingga hasil sawah ladangnya melimpah. Mbok Randha yang pemurah akan membaginya dengan tetangganya yang kekurangan. “Jaka Tarub, Anakku. Mbok lihat kamu sudah dewasa. Sudah pantas meminang gadis. Lekaslah menikah, Simbok ingin menimang cucu,” kata Mbok Randha suatu hari.
“Tarub belum ingin, Mbok,” jawab Jaka Tarub.
“Tapi jika Simbok tiada kelak, siapa yang akan mengurusmu?” tanya Mbok Randha lagi.
“Sudahlah, Mbok. Semoga saja Sim¬bok berumur panjang,” jawab Jaka Tarub singkat.
“Hari sudah siang, tetapi Simbok belum bangun. Kadingaren ...,” gumam Jaka Tarub suatu pagi. “Simbok sakit ya?” tanya Jaka Tarub meraba kening simboknya.
“Iya, Le,” jawab Mbok Randha lemah.
“Badan Simbok panas sekali,” kata Jaka Tarub cemas. Ia segera mencari daun dhadhap serep untuk mengompres simboknya. Namun rupanya umur Mbok Randha hanya sampai hari itu. Menjelang siang, Mbok Randha menghembuskan napas terakhirnya.
Sejak kematian Mbok Randha, Jaka Tarub sering melamun. Kini sawah ladangnya terbengkalai. “Sia-sia aku bekerja. Untuk siapa hasilnya?” demikian gumam Jaka Tarub.
Suatu malam, Jaka Tarub bermimpi memakan daging rusa. Saat terbangun dari mimpinya, Jaka Tarub menjadi berselera ingin makan daging rusa. Maka pagi itu, Jaka Tarub pergi ke hutan sambil membawa sumpitnya. Ia ingin menyumpit rusa. Hingga siang ia berjalan, namun tak seekor rusa pun dijumpainya. Jangankan rusa, kancil pun tak ada. Padahal Jaka Tarub sudah masuk ke hutan yang jarang diambah manusia. Ia kemudian duduk di bawah pohon dekat telaga melepas lelah. Angin sepoi-sepoi membuatnya tertidur.
Tiba-tiba, sayup-sayup terdengar derai tawa perempuan yang bersuka ria. Jaka Tarub tergagap. “Suara orangkah itu?” gumamnya. Pandangannya ditujukan ke telaga. Di telaga tampak tujuh perempuan cantik tengah bermain-main air, bercanda, bersuka ria. Jaka Tarub menganga melihat kecantikan mereka. Tak jauh dari telaga, tergeletak selendang mereka. Tanpa pikir panjang, diambilnya satu selendang, kemudian disembunyikannya.
“Nimas, ayo cepat naik ke darat. Hari sudah sore. Kita harus segera kembali ke kahyangan,” kata Bidadari tertua. Bidadari yang lain pun naik ke darat. Mereka kembali mengenakan selendang masing-masing. Namun salah satu bidadari itu tak menemukan selendangnya.
“Kakangmbok, selendangku tidak ada,” katanya.
Keenam kakaknya turut membantu mencari, namun hingga senja tak ditemukan juga. “Nimas Nawang Wulan, kami tak bisa menunggumu lama-lama. Mungkin sudah nasibmu tinggal di mayapada,” kata Bidadari tertua. “Kami kembali ke kahyangan,” tambahnya.
Nawang Wulan menangis sendirian meratapi nasibnya. Saat itulah Jaka Tarub menolongnya. Diajaknya Nawang Wulan pulang ke rumah. Kini hidup Jaka Tarub kembali cerah. Beberapa bulan kemudian, Jaka Tarub menikahi Nawang Wulan. Keduanya hidup berbahagia. Tak lama kemudian Nawang Wulan melahirkan Nawangsih, anak mereka.
Pada suatu hari, Nawang wulan berpesan kepada Jaka Tarub, “Kakang, aku sedang memasak nasi. Tolong jagakan apinya, aku hendak ke kali. Tapi jangan dibuka tutup kukusan itu,” pinta Nawang Wulan. Sepeninggal istrinya, Jaka Tarub penasaran dengan larangan istrinya. Maka dibukanya kukusan itu. Setangkai padi tampak berada di dalam kukusan. “Pantas padi di lumbung tak pernah habis. Rupanya istriku dapat memasak setangkai padi menjadi nasi satu kukusan penuh,” gumamnya. Saat Nawang Wulan pulang, ia membuka tutup kukusan. Setangkai padi masih tergolek di dalamnya. Tahulah ia bahwa suaminya telah membuka kukusan hingga hilanglah kesaktiannya. Sejak saat itu, Nawang Wulan harus menumbuk dan menampi beras untuk dimasak, seperti wanita umumnya. Karena tumpukan padinya terus berkurang, suatu waktu, Nawang Wulan menemukan selendang bidadarinya terselip di antara tumpukan padi. Tahulah ia bahwa suaminyalah yang menyembunyikan selendang itu. Dengan segera dipakainya selendang itu dan pergi menemui suaminya.
“Kakang, aku harus kembali ke kahyangan. Jagalah Nawangsih. Buatkan dangau di sekitar rumah. Setiap malam letakkan Nawangsih di sana. Aku akan datang menyusuinya. Namun Kakang janganlah mendekat,” kata Nawang Wulan, kemudian terbang ke menuju kahyangan.
Jaka Tarub menuruti pesan istrinya. Ia buat dangau di dekat rumahnya. Setiap malam ia memandangi anaknya bermain-main dengan ibunya. Setelah Nawangsih tertidur, Nawang Wulan kembali ke kahyangan. Demikian hal itu terjadi berulang-ulang hingga Nawangsih besar. Walaupun demikian, Jaka Tarub dan Nawangsih merasa Nawang Wulan selalu menjaga mereka. Di saat keduanya mengalami kesulitan, bantuan akan datang tiba-tiba. Konon itu adalah bantuan dari Nawang Wulan.
ALWAYS REMEMBER : http://aakkuucintaindonesia.blogspot.com
No comments:
Post a Comment