Thanks For Visiting My Blog
Elok
nian pabrik gula Tasikmadu. Tembok-bangunan tegar perkasa dikitari rimbun
pohon-pohon raksasa. Pabrik
gubahan pesohor Mangkunegoro IV ini terwalak di sebelah barat lereng Gunung Lawu
dan berjarak sekitar 15 kilometer dari Kota Solo. Sejarah mewaritakan, cikal bakal nama
Tasikmadu adalah sebuah desa bernama Sondokoro, simbol kisah dramatik-tragis
dua orang seperguruan, Sondo dan Koro.
Syahdan,
Ki Plapar termashyur berbudi luhur, arif, kosen mandraguna. Meskipun rambut
kian memutih, guratan-guratan kulit mengeriput dimakan takdir, ia masih bisa
berjalan tanpa tongkat penyangga. Sorot matanya terpancar berwibawa. Kebiasaan
menikmati ranum udara pagi dan berjalan kaki jauh sejak belia menyebabkan Ki
Plapar tak merasa senja.
Rona
fajar belum sempurna benar. Tetes-tetes embun bersenandung, menjatuhkan diri
dari daun-daun perdu. Cicit-cicit murai berganti padu dengan kokokan jago. Anak
ayam berkecipak minta makan induknya. Cericip dedaunan pohon pisang, bambu,
jati, trembesi, beringin, waru dikipas-kipasi angin sepoi yang menghantarkan
dingin dari selimut ke selimut. Gigil pagi meninabobokan anak-anak manusia yang
enggan terpisah oleh mimpi-mimpi malam. Namun, tidak demikian dengan Padepokan
Padas Plapar.
“Hia….”
“Hap….”
“Rentangkan
kaki, kokohkan kuda-kuda.”
“Siap….”
“Kepalkan
kedua tangan, ayunkan bergantian dengan sekuat tenaga.”
“Hiaaat…”
“Kiri,
kanan, ayun, kiri, kanan, ayun”
“Siap
guru….”
Puluhan
pemuda bercelana serbahitam bertelanjang dada dan kaki tampak rajin olah
kanuragan. Mereka beroleh tempaan Ki Plapar semenjak mentari belum tersembul di
ufuk timur.
“Murid-muridku,
pagi ini kalian akan kuajari ilmu jagat diri.”
“Injih (iya) guru,” serentak puluhan pengikutnya
membalas perkataan sang guru.
“Tapi
ingat, kepandaian yang akan kalian peroleh ini jangan digunakan untuk hal yang
tidak baik. Jauh di luar sana, banyak jelata yang harus kalian bela, banyak
manusia lemah yang mesti dijaga. Keangkaramurkaan merajalela. Tegakkan
kebenaran, lawanlah penguasa yang bertindak nista, lalim. Belalah penguasa yang
arif-bijaksana dan mengayomi rakyatnya. Jangan gunakan kesaktian ini kelak
untuk menjatuhkan kalian kepada kehinaan.”
“Sendika
dhawuh (laksanakan
perintah) guru,” jawab para murid dengan taat.
Begitulah,
setiap hari sang guru dan para murid menggembleng fisik dan diri pantang lelah.
Keugaharian
Ki Plapar pulalah menyebabkan Padepokan Padas Plapar tersiar dari desa-desa
sebelah hingga jauh tersiar di luar Hutan Padas, bahkan sampai seluruh tanah
Jawadwipa.
Nun
di punggung bukit belakang Padepokan Padas Plapar, seorang pemuda tampan
membelah batang trembesi dengan kapak. Dari garis-garis otot yang terbalut di
bawah kulit bersihnya, tampaklah ia masih berusia puluhan tahun. “Prak…prak…prak”. Kayu berdiameter puluhan
sentimeter itu akan berakhir sebagai kayu bakar di tungku. Itulah pekerjaan dia
saban pagi, membantu Simbok membuat kayu bakar. Pemuda ini sangat rajin dan
dicintai semua tetangga di kampungnya. Ia suka menolong sesama dan gigih
bekerja. Sejak kecil, ia dipanggil Sondo. Ada pula teman-teman sebayanya memanggil
Sondong.
“Sondo….”
“Iya
Simbok….”
“Ke
sini, Nak.”
“Iya
Simbok.”
“Sudah
cukup kayunya. Istirahatlah. Kamu juga belum sarapan. Itu ada nasi, sambel
terasi, dan lalapan kesukaanmu.”
“Tidak
mengapa Simbok. Perut Sondo masih kenyang. Simbok, Sondo minta izin pergi ke
hutan sekarang.”
“Lho,
ada apa tho, Nak,” tanya Simbok.
“Sondo
akan mencari buah-buahan kesukaan Simbok. Biar Simbok senang.”
“Ya
sudah, tapi pulangnya jangan malam-malam.”
“Terima
kasih, Simbok.”
Di
samping taat dan rajin bekerja, Sondo juga senantiasa berusaha menyenangkan
orangtuanya. Dengan cekatan, ia menyusuri jalan-jalan berbatu di desanya lalu
berbelok meniti bukit yang ditumbuhi ilalang. Tak lama ia telah masuk ke dalam
Hutan Padas.
Hutan
Padas tersohor dengan pohon-pohon besar dan masih banyak binatang buasnya.
Alkisah banyak hal-hal aneh yang akan ditemui bila ada orang yang berani masuk
ke dalam hutan tanpa minta permisi kepada sang pemilik hutan.
Kala
itu, sinar matahari yang tampak tipis tak mampu menerabas ranting-ranting dan
lebatnya dedaunan di Hutan Padas. Lolongan anjing silih berganti dengan desir
kencang angin. Suasana tiba-tiba mencekam. Langit menjadi temaram. Mendung
pekat berarak. Petir mulai menyambar dentumkan suara menggelegar.
Tiba-tiba….
“Hua…hua…hua….”
“Brak…”
terdengar suara lentingan tangis dan suara benda terjatuh.
“Tolong…
tolong… tolong…” Ada yang mau menikamku, bayangannya sangat besar. Tolong aku.”
Napas
terengah-engah berburu dengan ayunan kaki tak beralas. Seorang pemuda belasan
tahun mengucurkan keringat. Raut mukanya tegang. Tubuh kekarnya tak mampu
melawan serpih-serpih daun, patahan ranting, kayu, akar, batu yang berserakan
di tanah. Darah segar mengucur di telapak kakinya.
Ia
tak menghiraukan kondisi tersebut. Ia terus berlari dan berteriak-teriak.
Sondo
tercekat. “Hah, ada orang berteriak-teriak. Mungkin ia butuh bantuan. Aku harus
menolong.” Ia langsung mencari sumber suara.
“Hai,
ada apa,” teriak Sondo, setelah melihat sekelebat bayangan dari balik pohon
jati.
“Aduh,
Sondong, tolong aku. Aku dikejar bayang-bayang menakutkan.”
“Oh
kamu, Koro. Kamu terbawa lamunan lagi ya. Kamu jangan suka melamun kalau di
dalam hutan. Ya sudah sekarang kamu istirahat. Ini kamu minum air putih. Aku
bawa dari rumah.”
Ternyata
sosok itu adalah Koro, teman bermain Sondo. Dengan cekatan, Sondo mengambil
tempat minum terbuat dari bambu yang ia kalungkan di punggung.
“Gluk…gluk…gluk.”
Koro langsung meminum air putih itu. Gelontoran air sebesar kepalan kedondong
tampak dari kerongkongan Koro. Saking hausnya, beberapa air berceceran mengenai
bajunya.
“Pelan-pelan,
Koro,” kata Sondo, sambil membersihkan dan membebat luka Koro dengan sobekan
bajunya.
“Terima
kasih Sondo.”
Sondo
dan Koro adalah dua sahabat karib. Mereka kerap bertandang di dalam hutan.
“Tadi
kamu kenapa, kawanku,” tanya Sondo.
“Aku
tadi belajar bela diri. Seperti biasanya, kan, tiap pagi sampai siang aku rajin
menempa diri di dalam hutan ini. Aku pengin menjadi ksatria yang gagah perkasa
dan melindungi orang-orang lemah.”
Sondo
dan Koro memang memiliki keinginan yang kuat untuk memiliki ilmu silat yang
mumpuni. Bukan gagah-gagahan, mereka ingin mendarmabaktikan kepandaian itu
kelak demi kemajuan desa masing-masing.
“Iya,
Koro. Memang kamu kalau punya keinginan sangat kuat dan kamu tak pantang
menyerah. Namun, di tempat seperti ini, kamu jangan suka melamun. Akhirnya,
kejadian lagi, kamu berkhayal tadi. Seolah-olah dikejar-kejar bayangan hitam.”
Saat
kedua sahabat karib itu terlibat pembicaraan, sesosok mata tajam mengintai dari
balik rerimbunan ilalang. Rambutnya ikal terurai, busur panah tersilang
dipunggung dilengkapi dengan puluhan anak panah dengan mata lancip-lancip. Bila
menukik mengenai kulit macam, darah akan bercucuran menempel di mata anak
panah. Parang panjang terjuntai diikat dengan tali akar-akaran di pinggangnya.
Dengan
gesit, ia mendatangi kedua orang itu. “Hai, para pemuda, sekiranya kalian ingin
menempa diri, belajarlah kepada Ki Plapar.
“Siapakah,
Tuan?” nyaris bersamaan Sondo dan Koro mengajukan pertanyaan.
“Aku
salah satu murid Ki Plapar. Bergurulah ke Padepokan Padas Plapar.”
Syahdan,
setelah ditimbang rasa dan tanpa lupa meminta restu kepada orangtua, akhirnya Sondo dan Koro berguru ke Padepokan Padas
Plapar. Mereka sangat rajin mempelajari ilmu dari tingkat dasar hingga tingkat
tinggi. Perkembangan mereka sangat cepat. Tindak tanduk, budi wibawa dan bahasa
kedua pemuda itu membuat mereka cepat akrab dengan murid-murid yang lain.
Mereka juga menjadi murid kesayangan Ki Plapar. Meskipun demikian, semua murid
rukun dan tidak tersimpan tabiat iri dengki karena sang guru senantiasa
menggembleng ilmu eling kepada murid-muridnya. Ingat akan jati dirinya,
kesadaran terhadap hakikat hidup. Sesekali, Sondo dan Koro pulang ke desa untuk
melepas rindu kepada orang tua dan menularkan ilmu kepada teman-teman.
Waktu
berlalu, hari berganti. Kedua murid itu makin menjadi pemuda gagah trengginas.
Akhirnya, mereka dinyatakan lulus dan harus menerapkan ilmu hayat. Demikianlah,
sang guru, Ki Plapar, mewajibkan semua muridnya menerapkan ilmu untuk kebaikan.
Sondo kembali ke desanya. Ia menjadi tokoh yang disegani dan jadi pemimpin yang
cakap menyejahterakan warganya. Ia juga mempersunting seorang gadis desa
berparas jelita. Koro pun demikian. Ia membangun desa dan menjadi panutan. Koro
tidak tahan melihat kesengsaraan di desa. Tiap ada pemuda yang berbuat jahat,
ia akan melawan dan menyadarkan. Tidak sedikit gerombolan penyamun yang ia
taklukkan. Ia juga membangun mahligai rumah tangga dengan seorang gadis pujaan.
Kini,
Hutan Padas tak seangker dahulu lagi. Orang-orang tidak perlu minta izin kepada
”penguasa” hutan. Kicau burung terdengar indah bersahut-sahutan. Pagi itu,
mentari menyusup masuk hingga menyoroti akar-akar pepohonan. Seekor kijang
tutul-tutul berlari-lari kecil mencari makan. Binatang bertanduk itu tak sadar,
maut menyergap di balik pepohonan. Anak panah telah disandingkan ke busurnya.
Sang empunya panah menahan napas, memusatkan pikiran, dan tanpa mengedipkan
mata. Dalam hati, setelah merasa sudah tepat sasaran, ia berhitung, “satu…
dua…” Menjelang hitungan ketiga, “Ah….” Diurungkannya niat melepaskan anak
panah.
Tiba-tiba
dari balik semak muncul sesosok gadis menghalau si kijang. Kulit kuning langsat
tampak bersinar diterpa kilauan mentari. Rambut hitamnya panjang terurai
dipermainkan embusan angin. Pipinya dekik dengan balutan senyum tipis menawan.
“Duhai…”
Sang pemburu terpana dibuatnya. “Siapakah gerangan?”
Gadis
itu tampak malu. Ia menutup bibir menggunakan dua telapak tangannya. Rona merah
tersembul dari kedua pipinya yang bersih terawat.
“Jangan
takut. Perkenalkan, saya Tumenggung Joyo Lelono. Saya tinggal di seberang hutan
ini.”
“Maaf.
Saya telah menghalau kijang itu. Kasihan. Nama saya Sri Widowati putri Kyai
Sondo,” sembari gadis itu membalikkan badan dan berlari-lari kecil menuju
desanya.
Tumenggung
Joyo Lelono terpana atas pandangan pertama itu. Tiap hari, keayuan Sri Widowati
menggelayuti alam pikirannya. Akhirnya ia bertandang ke rumah Kyai Sondo dan
mengutarakan niat untuk melamar putrinya. Atas niat baik tumenggung untuk
menjaga putrinya, Kyai Sondo berjanji akan menikahkan anaknya. Setelah laku
Jawa, ditetapkanlah hari perkawinan pada Senin Legi.
Hati
Tumenggung Joyo Lelono amat girang. Ia undur diri dan segera kembali masuk ke
hutan untuk merayakannya dengan kembali berburu. Ia akan berburu kijang yang
telah diincarnya sejak beberapa hari. Sang tumenggung menyusuri hutan dengan
cekatan. Nun jauh di depan mata, semak-semak bergerak-gerak. Tumenggung Joyo
Lelono yakin, itu adalah kibasan kijang. Sepontan ia berlari mengejar kijang
itu. Namun, ia terhalang oleh sesosok bayangan yang tiba-tiba muncul dari balik
pepohonan. Ia tampak ayu rupawan.
Sesaat
kemudian, kedua manusia lain jenis itu pun terlibat adu pandang. Sekali lagi,
Tumenggung Joyo Lelono terkesima melihat kecantikan gadis tersebut. Ia mengira
perempuan itu adalah Sri Wedowati. Beberapa detik kemudian, gadis itu lari
ketakutan. Karena penasaran, Tumenggung Joyo Lelono mengikutinya dari belakang.
Gadis
itu langsung masuk ke rumah dan melaporkan ke sang ayah telah bertemu hingga
dikuntit seorang laki-laki. Tumenggung Joyo Lelono tersadar bahwa rumah itu
milik Kyai Koro. Ia baru tahu, Kyai Koro mempunyai anak gadis yang cantik pula.
Seakan lupa terhadap pinangannya ke Sri Widowati, Tumenggung Joyo Lelono
melamar putri Kyai Koro. Melihat kemauan dan niat baik tersebut, Kyai Koro
menyetujui lamaran.
Di
suatu hari, Kyai Koro menyuruh anaknya pergi ke rumah Kyai Sondo. Kedua gadis
itu memang bersahabat sejak kecil. Mereka memiliki banyak kesamaan. Keduanya
sama-sama cantik dan penurut serta rajin.
Kedua
gadis itu tampak akrab bercakap-cakap di belakang rumah di bawah pohon mangga.
Mereka berbagi pengalaman saat pertemuan dengan seorang pemuda. Walhasil
ketahuanlah bahwa keduanya dilamar oleh orang yang sama, yaitu Tumenggung Joyo
Lelono.
Akhirnya,
mereka berselisih dan mengadukan kepada ayah masing-masing.
Perang
pun tak terelakkan. Kyai Sondo merasa harga diri keluarganya dicabik-cabik dan
Kyai Koro merasa kekasih anaknya direbut oleh Sri Widowati. Karena tertutup
oleh rasa marah yang membara, keduanya kalap. Mereka beradu kedigdayaan.
Sehari, dua hari, tiga hari mereka tanpa henti beradu tanding. Digambarkan
semua binatang menyingkir ketakutan, pohon-pohon besar kecil jatuh
bertumbangan. Orang-orang desa tidak ada yang berani menengahi kedua tokoh
tersebut.
Seminggu
mereka bertarung siang malam. Semua jurus dikeluarkan, semua senjata
ditarungkan. Dua minggu kedua pendekar itu masih terlibat perang tanpa jeda
sebentar pun. Kedua gadis pun tidak bisa melerai ayah masing-masing. Mereka
hanya terlihat sesengukan dan menangis serta menahan takut. Tiga minggu lebih
mereka masih mengumbar rasa dendam dan melupakan rasa persahabatan. Hingga
genap 40 hari 40 malam, keajaiban terjadi. Mereka musnah bak ditelan bumi.
Tidak ada yang kalah dan tiada jua pemenang. Tidak seorang pun tahu keberadaan
kedua orang sakti tersebut.
Syahdan
tempat pertempuran itulah cikal bakal Desa Sondokoro, penggabungan atas dua
nama, yaitu Sondo dan Koro.
Beberapa
waktu kemudian, KGPAA Mangkunegoro IV mengubah Sondokoro menjadi Tasikmadu
dengan harapan hasil gula dari pabrik akan laksana danau madu. Hingga kini,
pabrik yang menjadi kebanggaan warga Karanganyar, Jawa Tengah, ini masih
produktif. Kebanggaan lainnya, kepemilikan pabrik tua ini tidak pernah
tersentuh oleh tangan pihak asing dan hampir senantiasa dikelola oleh pribumi
sendiri.
Dalam
perkembangannya, Tasimadu juga dijadikan sebagai nama kecamatan di Kabupaten
Karanganyar. Sondokoro sendiri sekarang dikenang dan dikenal sebagai nama
tempat wisata yang terdapat di dalam lingkungan Pabrik Gula Tasikmadu. Di area
rekreasi itu, terdapat kolam renang Sri Widowati—nama yang diambil dari putri
Kyai Sondo. Adapun petilasan Sondokoro sendiri dipercaya terletak di sebelah
selatan kolam renang tersebut.
ALWAYS REMEMBER : http://aakkuucintaindonesia.blogspot.com
Mohon maaf, mau tanya itu cerita sumbernya darimana yaa?
ReplyDeleteAda bukunya gag ttg asal usul sodokoro itu?